Platform financial technology (FinTech) berbasis syariah akan semakin banyak bermunculan beberapa tahun kedepan. Perkembangan tersebut sejalan dengan peningkatan kesadaran masyarakat dalam bertransaksi halal sesuai syariah, ditambah lagi peraturan keuangan terkait FinTech dan crowdfunding dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai instansi pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /pojk.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan tersebut mengatur tentang penerapan FinTech dengan dasar pinjam meminjam uang yang bertujuan untuk mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan bagi masyarakat. Seiring perkembangan FinTech yang diikuti keterbukaan pemerintah dalam membuat aturan yang mengakomodir inovasi teknologi keuangan bank syariah harus mampu ikut andil dalam upaya meningkatkan bisnis usahanya baik untuk tujuan tijarr’i maupun tabarru. Terdapat tiga model pembiayaan dan dua model pinjaman berbasis platform crowdfunding dan Cicilan Syariah yang masih aktif di beberapa negara Asia hingga tahun 2016. Hal tersebut memperlihatkan bahwa terdapat kesempatan besar untuk mengembangkan FinTech syariah oleh industri perbankan syariah diikuti dengan aturan syariah yang jelas.
A.
Islam
Dan Ilmu Pengetahuan
Pertama kali islam diperkenalkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW. Tidak dalam bentuk perintah ibadah khusus, namun ajaran agar
memiliki ilmu pengetahuan lewat kemampuan mambaca apa yang ada di alam semesta
milik Allah SWT, ini dijelaskan dalam Qur'an surat Al Alaq ayat 1-5
Kita menyadari bahwa pengetahuan sangat
penting dan menjadi kunci dalam penguasaan teknologi yang berkembang sangat
dinamis saat ini. Namun, di balik itu semua ada sumber kekuatan ilmu, yakni
Allah SWT. Yang mengajarkan teknologi baju besi kepada Nabi Daud as.
“Dan telah kami ajarkan kepada Daud
membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka
hendaklah kamu bersyukur kepada Allah. (Al-Anbiyaa:80)
Islam pun mewajibkan kepada setiap
muslim untuk menuntut ilmu karena manfaatnya terus bergulir selama dunia
terkembang sebagai amal jariah, seperti yang dijelaskan hadits berikut.
1) Riwayat
Ibnu Abdi Bar, Nabi SAW. Bersabda:
“Perkara mencari ilmu merupakan kewajiban
bagi setiap umat muslim laki-laki dan perempuan.
2) Riwayat
Muslim:
“Jika manusia meninggal dunia, maka semua
amal ibadahnya akan terputus, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.”
Setiap muslim dituntut berbuat
sesuatu terkait kemajuan teknologi tanpa mengabaikan nilai kebutuhan. Hal
tersebut berbeda dengan ilmuan Barat yang kian mengagungkan rasionalitas,
bahkan menggantungkan ilmu dan teknologi sebagai kekuatan hidup. Mereka
beranggapan bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menundukkan
langit dan bumi. Berikut pandangan islam tentang orang berilmu dan kekuasaan
Allah SWT.
Al Qur’an surat Al-Mujaadilah ayat
11:
“Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang beri pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Al
Qur’an surat Ali Imran ayat 190-191
Hal ini membuktikan bahwa umat islam
diwajibkan untuk menuntut ilmu termasuk ilmu teknologi dan komunikasi, dalam industri
perbankan syariah dimana dalam ayat dan hadist di atas memerintahkan setiap
umat islam untuk dapat meningkatkan dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga perbankan syariah fungsi dan peruntukkannya dapat lebih
bermanfaat bagi kemaslahatan umat termasuk dalam pemanfaatan Finacial
Technology (FinTech).
Sebuah
inovasi berhasil mentransformasikan sistem atau pasar yang eksisting, dengan
memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang
ekonomis, dikenal sebagai inovasi disruptif (Disruptive Innovation).Istilah ini
dilontarkan pertama kalinya oleh Clayton M Christensen dan Josen Bower di tahun
1995 dalam bukunya “Disruptive
Technologies : Catching The Wave”,
Harvard Business Review (1995)
Inovasi
disruptif ini biasanya mengambil segmen pasar tertentu yang kurang diminati
atau dianggap kurang penting bagi penguasa pasar, namun inovasinya bersifat
breakthrough dan mampu meredefinisi sistem atau pasar yang eksisting. Fenomena
inovasi disruptif juga terjadi dalam industry jasa keuangan atau perbankan yang
telah men-disrupsi landscape industry keuangan secara global. Mulai dari
struktur industrinya, teknologi intermediasinya, hingga model pemasarannya
kepada konsumen. Keseluruhan perubahan ini mendorong munculnya fenomena baru
yang disebut Financial Technology (FinTech).
Definisi
Fintech banyak diterjemahkan dalam banyak literature, dalam kamus Oxford
fintech adalah :
"Program komputer dan lainnya
Teknologi yang digunakan untuk mendukung atau memungkinkan perbankan dan Jasa
keuangan ".
Sedangkan
dalam kamus Wikipedia Indonesia mengartikan fintech adalah :
"Teknologi keuangan, juga
dikenal sebagai FinTech, adalah lini bisnis yang berbasis pada penggunaan
software Untuk menyediakan layanan keuangan. Teknologi keuangan Perusahaan
umumnya didirikan dengan mendirikan Tujuan mengganggu sistem keuangan incumbent
dan Perusahaan yang kurang mengandalkan perangkat lunak.
Kehadiran
FinTech sebagai fenomena baru pada
sektor keuangan tidaklah muncul secara tiba-tiba. FinTech merupakan akumulasi
perkembangan antara antara finansial dan teknologi. Pada awalnya istilah FinTech merupakan padatan kata
kepanjangan dari Financial Services Technology Consortium, sebuah proyek yang
diprakarsai oleh Citicorp, sekarang Citigoup. Sekarang, istilah FinTech merujuk
pada kata baru, gabungan kata dari kata 2 kata pembentuk financial dan
technologies.
Pada
mulanya, hubungan sektor keuangan dan teknologi adalah teknologi sebagai
supporting, alat bantu untuk mendukung kegiatan operasi di sektor keuangan.
Seiring dengan perkembangannya, peran teknologi di sektor keuangan menjadi
vital. Keberhasilan inovasi dibidang teknologi informasi dan komunikasi diluar
sektor finansial segera mengubah arah dan paradigma sektor finansial. Kehadiran
teknologi baru menggubah prilaku masyarakat, seperti kehadiran internet dan
smartphone berdampak pada seluruh sektor ekonomi, tidak terkecuali sektor
finansial.
Professor
Douglas W. Arner dari University of Hongkong membagi perkembangan FinTech
kedalam empat era. FinTech 1.0 berlangsung antara tahun 1866 – 1967, era
pengembangan infrastuktur dan komputerisasi sehingga terbentu jaringan keuangan
global. FinTech 2.0 berlangsung antara tahun 1967 – 2008, era penggunaan
internet dan digitalisasi di sector keuangan. Fintech 3.0 dan FinTech 3.5
berlangsung dari tahun 2008 sampai sekarang. Fontech 3.0 merupakan era
penggunaan telepon maupun smartphone di sektor keuangan. FinTech 3.5 merupakan
era kemunculan entitas bisnis teknologi keuangan sebagai pendatang baru
memanfaatkan peluang dari inovasi teknologi proses, produk dan model bisnis
serta perubahan prilaku masyarakat.
Dalam The Futures of Financial Services, World Economic Forum (WEF) membagi FinTech kedalam enam kategori, 1) Payments; 2) Insurances; 3) Deposit & Lending; 4) Capital Rising; 5) Investment Management; 6) Market Provisioning. Masing-masing kategori terdiri dari bidang inovasi, yang terdiri dari bentuk-bentuk inovasi FinTech. Antar bidang inovasi FinTech terjadi relasi yang yang merupakan keunggulan sekaligus arah industri keuangan di masa depan.
FinTech sebagai industri keuangan berbasis teknologi,
secara umum membuka peluang pada peningkatan efisiensi,membuka peluang bisnis
baru, pengelolaan risiko yang lebih baik dan kemudahan aktivitas. Keberadaan
dan perkembangan FinTech didukung oleh inovasi teknologi di bidang:
a)
augmented
& biometric;
b) cloud computing;
c)
learning machines;
d)
digital & mobile
payment;
e)
block chain distributed
ledgers;
f)
big data.
Ekosistem FinTech terdiri dari empat atribut,
a. Demand
b. Capital
c. Policy
d. Talent
Masing-masing atribut berhubungan dengan stakeholder
sesuai dengan peran dan fingsinya. Walaupun FinTech sudah menjadi entitas
bisnis baru, fungsi dan posisi FinTech dialam sistem keuangan masih menjadi
kajian dan perdebatan. Hal itu terkait dengan prinsip dasar sistem keuangan
dalam menjalankan fungsinya, prudent yaitu prinsip kehati-hatian, dan financial
stability, yaitu menjaga stabilitas keuangan.
C.
Perkembangan
FinTech di Indonesia
Kehadiran FinTech di Indonesia tentunya sudah dimulai
sejak sistem keuangan modern (technology base) diterapkan di Indonesia.
Masyarakat Indonesia sudah tidak asing dengan pengguaan produk financial
technology. Nyatanya mesin ATM dan EDC sudah digunakan oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Perkembangan FinTech di Indonesia tercermin dari
perkembangan APMK (Alat Pembayaran Menggunakan Kartu) dan uang elektronik.
Infrastruktur, jumlah dan transaksi APMK dan uang elektronik menunjukan
perkembangan pesat selama 3 tahun terakhir.
Sumber
Data: Bank Indonesia
Deloitte
Consulting bekerja sama dengan Asosiasi FinTech Indonesia merilis hasil Survei
FinTech terungkap bahwa 61 persen startup finTech Indonesia menganggap regulasi
Indonesia masih belum jelas dan lambat beradaptasi terhadap perkembangan finTech.
Survei FinTech Indonesia 2016 ini dilakukan pada Juni-Agustus 2016 yang melibatkan
70 perusahaan finTech Indonesia.
Adapun
peran FinTech di Indonesia adalah :
1. Membantu
pemenuhan kebutuhan pembiyaan dalam negeri yang masih sangat besar
2. Mendorong
distribusi pembiayaan nasional yang masih belum merata di 17.000 pulau di
Indonesia
3. Meningkatkan
inklusi keuangan nasional
4. Mendorong
kemampuan UMKM yang saat ini masih rendah
5. Mendorong
pemerataan tingkat kesejahteraan penduduk
Selain
memiliki peran dan manfaat dalam dunia keuangan di Indonesia, FinTech juga
memiliki resiko diantaranya :
a. Perlindungan
Konsumen
· Perlindungan
dana pengguna, potensi kehilangan maupun penurunan kemampuan finansial baik
yang diakibatkan oleh penyalahgunaan, penipuan, maupun force majeur dari
kegiatan FinTech.
· Perlindungan
data pengguna, isu privasi pengguna FinTech yang rawan terhadap penyalahgunaan
data baik yang disengaja maupun tidak sengaja (serangan hacker, malware,dll)
b. Kepentingan
Nasional
· Anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT), kemudahan dan
kecepatan yang ditawarkan oleh FinTech menimbulkan potensi penyalahgunaan untuk
kegiatan pencucian uang maupun pendanaan terorisme.
· Stabilitas
sistem keuangan, perlu manajemen risiko yang memadai agar tidak berdampak
negative terhadap stabilitas sistem keuangan.
Maka
diperlukan ratifikasi peraturan dalam mendukung pengembangan FinTech,
diantaranya dengan cara adopsi peraturan terkait tanda tangan (digital
signature), E-know your customer (E-KYC), E-rating dan penggunaan dokumen
secara digital sehingga dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh
industry FinTech.
Di
Indonesia penertipan dan peraturan FinTech sudah diupayakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dengan penerbitan ketentuan regulatory Sandbox, Penerbitan POJK
No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Langsung Berbasis Teknologi Informasi (LMPUBTI) tau
peer-to-peer lending.
Setidaknya,
ada lima area dalam fintech yang memiliki kebutuhan paling tinggi untuk
kejelasan regulasi. Lima area tersebut adalah Payment Gateway (60%),
e-money/ewallet (58%), mekanisme Know Your Client atau KYC (57%), P2P lending
(57%) dan digital signature (54%).
Contoh
Penerapan Perusahaan FinTech di Indonesia
1.
Perusahaan Investree
a. Menyediakan
platform (marketplace) peer-to-peer lending (P2PL):
menghubungkan pemberi pinjaman (lender) yang ingin berinvestasi
dan peminjam (borrower)
·
Business Loan:
pinjaman modal kerja untuk memperlancar cash flow bisnis dengan
menjaminkan tagihan (invoice), khusus PT, Jadetabek, beroperasi
minimal 6 bulan.
·
Employee Loan:
pinjaman pribadi bagi karyawan di perusahaan yang bekerjasama dengan
Investree, skema potong gaji.
b.
Bunga pinjaman 1,2%-2,5%
per bulan; return investor 18%
c.
Memverifikasi,
menganalisa, menyetujui, memaintain akun peminjam (borrower);
membantu strategi monitoring, collection, dan recovery agar
tidak ada kredit macet Mayoritas pembiayaan sektor industry kreatif (EO, PH,
Advertising) (36%) dan outsourcing (29%)
2.
Perusahaan Amartha
Menyediakan platform (marketplace) peer-to-peer
lending (P2PL): menghubungkan pemberi pinjaman (lender) yang ingin
berinvestasi dan peminjam (borrower) Target pasar adalah usaha mikro dan
kecil, pembiayaan antara Rp 1 juta hingga Rp 20 juta Pendekatan syariah dan
bagi hasil: return untuk investor 10-20%, fee Amartha 5-10% dari
pemohon pinjaman Cakupan wilayah Kabupaten Bandung, Bogor, Subang Mitra usaha
dibentuk kelompok, diberi pelatihan, dan pertemuan mingguan dengan field
officer untuk memonitor perkembangan usaha Pemanfaatan teknologi algoritma
untuk grading dan profiling peminjam
D.
Sikap
Bank Syariah terhadap perkembangan Fintech
Perkembangan transaksi keuangan perbankan melalui kantor cabang
saat ini mengalami penurunan dan sebaliknya terjadi peningkatan tajam transaksi
keuangan berbasis digital. Berdasarkan survei oleh Pricewaterhouse Coopers
(PwC), sebanyak 75% bankir yang menjadi responden menyatakan tahun 2015 lebih
dari separuh transaksi keuangan di banknya terjadi melalui kantor cabang, dan
di tahun 2017 transaksi tersebut tinggal 45%, artinya terjadi penurunan selama
dua tahun terakhir dimana transaksi nasabah berpindah yang semula bertransaksi
dengan dating ke kantor cabang beralih kepada gizital.
Bank Indonesia sendiri terus mendorong program digitalisasi jasa
keuangan alias Financial Technology (fintech). Upaya tersebut dilakukan karena
dapat meningkatkan efisiensi transaksi keuangan dan mempermudah masyarakat
mendapatkan akses keuangan. Di Indonesia sendiri
terdapat 170 juta orang yang menggunakan ponsel dan 130 juta orang yang
mengakses internet dan terdapat 100 juta orang mengakses internet melalui
ponsel. Akan tetapi jumlah orang Indonesia yang mempunyai rekening bank hanya
sebanyak 90 juta orang (Sumber: Bank Indonesia). Artinya terdapat 80 juta orang
mempunyai ponsel tetapi tidak memiliki akses aplikasi yang berkaitan dengan
keuangan dan perbankan.
Hal
ini harus segera disikapi oleh industri perbankan, khususnya bank syariah dalam
menghadapi perkembangan FinTech serta menyikapi risiko yang terjadi dalam
FinTech tersebut. Bank Syariah harus mampu menangkap peluang usaha dengan
memanfaatkan perangkat teknologi secara penuh serta berinvestasi lebih banyak
lagi dalam hal ini agar tidak kalah bersaing dalam kompetisi bisnis keuangan.
Pemanfaatan financial Technology bagi keuangan syariah sendiri akan bergantung
pada dua lembaga keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank
Indonesia. FinTech sendiri sering dianalogikan dengan perusahaan start-up
karena belum disertai kosakata syariah. Selama ini perbankan konvensional yang
banyak terlibat dengan FinTech.
Pemanfaatan
financial technologi harus segera dilakukan oleh perbankan dan keuangan syariah,
karena penggunaan FinTech ini selain sudah banyak digunakan oleh bank
konvensional juga sudah benyak diterapkan oleh perusahaan FinTech sendiri
langsung kepada nasabah. Adopsi teknologi keuangan bukan lagi menjadi pilihan,
melainkan merupakan persyaratan penting bagi perbankan syariah untuk
mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar.
Adapun
sikap yang dapat dilakukan bank syariah dalam menghadapi perkembangan fintech
diantaranya :
1. Kolaborasi
jalur informasi antara finTech dan Bank Syariah yang ada dengan memanfaatkan
data nasabah yang banyak dan jalur distribusi yang sudah dibangun.
2. Kolaborasi
produk yang menjadi solusi bagi konsumen. Untuk itu pelaku FinTech bersama bank
syariah perlu melakukan proses desain untuk membuat produk yang bermanfaat bagi
kedua pihak. Sinergi dapat dilakukan oleh bank syariah yang berbisnis inti
pembiayaan di UMKM dengan FinTech yang menyediakan platform UMKM digital.
3. Penggunaan
infrastruktur bank induk, bank syariah dapat menggunakan infrastruktur bank
induk yang lebih memadai guna menunjang teknologi pelayanan bisnisnya.
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya atau
meniadakan kebolehannya ".
"Di mana terdapat kemaslahatan, di sana
terdapat hukum Allah".
Seiring dengan perkembangan teknologi serta komunikasi, perlunya dibuatkan fatwa DSN MUI terkait fatwa yang membolehkan adanya FinTech dalam pelayanan bisnis keuangan bank syariah, sehingga bank syariah lebih bersemangat dan yakin dalam pengembangan bisnis usahanya selain dengan pelayanan dikantor cabang tetapi juga professional dalam industry FinTech.
DAFTAR PUSTAKA
- Ikatan Bankir Indonesia, Memahami
Bisnis Bank Syariah, Jakarta: PT.Gramedia, 2016
- Majalah ICT Edisi
No.54-ThnV-Maret 2017. www.majalahict.com
- Makalah
Kuliah Umum IBS, “Financial Technology (FinTech) di Indonesia, oleh Ketua Dewan
Komisioner OJK, Jakarta, 2 Juni 2017
- Makalah Financial Technology dan Lembaga Keuangan, Gathering
Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri Hotel Grand Aston Yogyakarta,
22 November 2016
- PERATURAN
OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 77
/POJK.01/2016